Thursday, October 25, 2007

Menantu vs Mertua: Ketika Tuhan Berkarya

Sebelum kami menikah, aku memang telah mengajukan syarat agar kami nanti tinggal bersama di rumahku, serumah dengan ibuku. Dan iapun menyetujuinya walau beberapa kali kelihatan agak berat dengan syarat yang aku ajukan. Awal kami tinggal serumah dengan ibuku memang tidak ada masalah berarti. Ia bisa menyesuaikan dan ibuku tentu bisa menerimanya.

Namun, karena aku masih bekerja di Salatiga dan ia masih di Solo, akhirnya kami terpaksa harus berpisah untuk beberapa hari. Di sinilah masalah mulai muncul. Istriku mulai sering mengeluh karena sulit berkomunikasi dengan ibu. Aku sendiri tidak tahu bagaimana dengan ibu. Yang kutangkap ia sendiri selalu berusaha sabar menghadapi mantunya.

Karena ia istriku maka aku selalu berusaha untuk menjelaskan bagaimana ibu dan bagaimana dia harus bersikap. Tapi ternyata permasalahan tidak semudah membalikkan telapak tangan. Setiap aku pulang Solo istriku terus saja mengeluh. Hal inilah yang membuat aku berang. Beberapa kali kami berantem karena masalah ini.

Tentu saja aku jengkel setengah mati dengan kondisi seperti ini. Pulang ke rumah agar bisa tidur di pelukan istri malah justru dapat punggung alias dicuekin istri. Kadang aku gak habis pikir kenapa sih ia tidak mau menerima kondisi ibuku dan selalu mengharapkan ibuku mengerti dia. Dalam suatu adu argumen aku pernah bilang kalau awalnya aku juga gak bisa menerima beberapa sikap ibunya namun aku belajar menerima. Tapi ternyata apa yang kualami itu bukan dia jadikan pemacu tetapi dia justru seperti dilecehkan karena dianggap tidak bisa apa-apa sementara aku bisa... Waduh puyeng nih.

Aku masih belum tahu mengapa dia bisa sedemikian 'takut' terhadap ibu.

Jawaban atas pertanyaan tersebut muncul ketika aku mengajak dia untuk menghadiri pertemuan bisnis dengan kenalanku. Di situ aku mengatakan kondisiku saat ini yang masih tinggal dengan orang tua dan Pak Lilik (salah seorang peserta) langsung berpendapat kalau menantu tinggal di rumah mertua memang rawan konflik. Apalagi kalau menantu perempuan tinggal bersama mertua. Karena sudah tertanam dalam diri wanita bahwa ia bertugas untuk mengasuh pria, dalam hal ini anaknya. Nah, tentu saja seorang ibu tidak bisa begitu saja menerima kalau anak yang ia asuh tiba-tiba diasuh orang lain sekalipun itu mantunya.

Banyak kasus sederhana yang ia contohkan. Misalnya ibunya tahu kalau setiap pagi anaknya suka makan soto tetapi istrinya gak bisa buat soto. Nah pernyataan 'anakku itu suka sekali makan soto' bisa membuat sang istri kibat kibit. Kalau memberi penjelasan pada suaminya mungkin mudah tapi bagaimana kepada mertua. Terus pagi masih mau tidur ya perkewuh kalau bangun masih ngantuk. Beda kalau di rumah sendiri, semuanya bebas. Mau ngapa-ngapain terserah.

Pulangnya aku bilang sama istriku kalau sekarang aku mengerti akar masalahnya. Tapi tetap saja aku bingung. Idealnya kami memang harus keluar dan berumah tangga sendiri. Tetapi untuk saat ini itu bukan hal yang mudah dilakukan. Beberapa alternatif yang kuajukan ialah:

- Ia mencari kerja di Salatiga dan kami mengontrak rumah di Salatiga (sulit dilakukan karena tahun 2007 aku harus balik ke Solo untuk menyelesaikan studiku)
- Nyari kontrakan baru di Solo (sulit mencari alasan yang tepat kenapa pindah, soalnya tempat kerjanya pun juga dekat rumahku sekarang)
- Beli rumah baru (apalagi ini, belum saatnya)
- Dia nyari kerja di Sukoharjo dan menetap di sana. Pulang ke Solo kalau pas aku pulang ke Solo (ini langkah terbaik sekarang)

Sekarang aku jadi tambah bingung apa yang harus aku lakukan. Secara manusia tidak ada lagi yang dapat aku lakukan kecuali berdoa dan berserah padaNya. Tuhan tolong aku.

Selasa, 23 Oktober 2007 aku di sms kalau dia sekarang sudah dapat merasa nyaman berbicara dengan ibu. Aku ikut senang dengan hal ini tapi kuharap ini bukan fenomena sesaat saja.

Rabu, 24 Oktober 2007 saat aku pulang dia cerita kalau mulai hari senin (22 Oktober 2007) dia sudah bisa merasa nyaman berbicara dengan ibu. Sebelumnya jika ibu komentar ini itu ia selalu merasa risih, tetapi sejak senin dia tidak merasakannya lagi. Ia heran kenapa hal itu bisa terjadi.

Aku ikut senang mendengar ceritanya. Ia kupeluk lalu aku katakan kalau kamu telah ketularan aku hehe. Aku ceritakan kalau aku sempat bingung dengan situasi ini dan mulai berserah padaNya. Justru saat berserah inilah Tuhan berkarya. Kiranya ini tidak hanya berlangsung sekejab.

Matur nuwun Gusti Yesus.

No comments: