Sunday, October 28, 2007

Ngobrol Berdua

Inilah salah satu aktivitas yang paling kusenangin. Ngobrol berdua tanpa gangguan baik dari pihak ketiga baik atau pertengkaran. Ngobrolnya tidak harus duduk tenang di kursi tapi bisa dimana aja. Di dapur sambil nemani istri memasak bisa, di kamar mandi sambil nemani dia mencuci juga bisa, apalagi sambil tiduran di ruang tidur, tentu lebih bisa lagi. Yang diobrolin tidak harus hal-hal yang serius, bisa juga masalah sederhana seperti pengalaman kerja, kelucuan ponakan kami, atau sekedar mengejek satu dengan yang lain. Yang penting bagiku, aku dan dia bisa ngobrol dengan tenang tanpa gangguan pertengkaran.

Saat ini intensitas pertemuanku dengan istri saat ini memang juga masih jarang. Kami bekerja di kota yang beda sehingga memaksaku untuk kos. Aku biasa bertemu dengannya Rabu malam (saat nglaju pulang kerja), terus Jumat malam (saat pulang kerja) - Senin pagi (sebelum berangkat kerja). Sisanya kami hanya bisa kontak melalui email. Itupun waktu tidak sepenuhnya menjadi milik kami berdua, kami masih harus membaginya dengan orang tua dan juga ngurusi keponakan yang lucu.

Secara kasaran dari 7 hari 4 hari tidak ketemu istri hanya 3 hari yang bisa kupakai untuk berkomunikasi dengan istri.

Sebagian orang mungkin menganggap aku tidak dapat memanfaatkan waktu ketemu istri dengan maksimal. Waktu yang seharusnya kuisi dengan obrolan penting justru kuisi dengan obrolan ngalor-ngidul saja. Tapi bagiku obrolan ringan ini secara tidak langsung justru dapat semakin mempererat kami. Aku jadi tahu pengalamannya, respon dia terhadap sesuatu dan juga sebaliknya tanpa ada paksaan untuk saling mengerti atau memahami. Lagi pula sampai saat ini kami masih dapat mengelola waktu kami bila ingin membicarakan hal yang serius.

Aku tidak bisa membayangkan bagaimana jadinya bila bahan pembicaraan kami selalu diplaning. Ntar kalau pulang kita mo ngobrolin nama anak, besok mo ngomongin cara mendidik anak, besok mo mbicarain sifat-sifat buruk yang tidak disukai pasangan, bla, bla, bla... Wah kaku banget tuh, bukannya obrolan santai yang didapat tapi justru obrolan kaku. Kalau sudah gitu bagaimana kita bisa saling memahami?

Aku senang ngobrol dengan istriku tidak peduli serius or not...


Read more!

Friday, October 26, 2007

Aku vs Mertua: Tuhan telah Berkarya

Ibu mertuaku memang beda sekali dengan ibuku. Sepertinya latar belakang kehidupan mereka yang membuatnya berbeda. Meski pun ada satu kesamaannya. Kedua ibuku sama-sama wanita yang kuat dan sangat mengasihi anak-anaknya.

Ibuku seorang yang demokratis. Dia tidak penah melarangku atau mengharuskanku dalam melakukan sesuatu. Sedari kecil dia selalu memberiku kebebasan dalam bersikap. Tapi tidak berarti aku menjadi anak yang tidak tahu aturan atau semau gue. Sama sekali tidak. Karena biasanya ibu memberiku konsekuensi-konsekuensi yang bisa jadi aku terima saat aku melalukan sesuatu. Tapi dia tetap memberikan kepadaku kebebasan untuk memilihnya. Ibaratnya dia seperti melepaskan kepala dan tubuhku pergi ke mana saja tapi dia tetap memegang ekorku. Ketika kepala dan tubuhku berjalan ke arah yang salah cepat-cepat dia menarikku lewat ekorku.

Aku terbiasa dengan kondisi seperti itu. Dan itu tidak aku dapati dari ibu mertuaku. Di satu sisi, dia terlalu protektif. Aku risih diperlakukan seperti itu. Meskipun aku sadar kalau itu dia lakukan karena mengasihiku. Tapi sulit bagiku untuk menerimanya. Perlakuan seperti itu sebelumnya dia terapkan ke anak laki-laki satu-satunya. Segala sesuatunya ibu mertua menentukan pilihan-pilihan yang dia anggap terbaik untuk anaknya. Memang sebenarnya tidak ada salahnya tapi sekali lagi aku tidak terbiasa seperti itu dan celakannya aku tidak bisa memprotesnya takut dia kecewa.

Selain itu, ibu mertuaku senang sekali berkomentar dan kadang komentarnya membuat hatiku panas. Sesuatu yang tidak perlu dikomentari sebenarnya atau malah komentar yang kurang pas. Pernah aku menyimpulkan apa karena dia ingin berkomunikasi denganku dia pakai komentar-komentar itu. Tapi bukan komunikasi yang dia dapat hanya kebisuanku menahan rasa.

Aku selalu saja uring-uringan, tapi dalam hati karena tidak berani berontak sama ibu mertuaku. Mosok jadi mantu belum genap 2 bulan dan mulai kurang ajar. Selain itu aku tetap menghormatinya meski aku gondok. Tapi itu mau sampai kapan? Hal itu yang membuatku selalu saja meluapkannya ke suamiku. Aku juga kasian sama dia, setiap pulang dari Salatiga hanya ndengerin keluhan-keluahanku yang engga ada habisnya.

Dan setiap kali dia kasih masukan-masukan malah kurasakan seperti memojokkanku. Dia tidak mengerti apa yang aku rasakan. Kondisinya dan kondisiku itu beda. Dan setiap kali dia balik marah atau sedih karena sikapku aku semakin tertekan. Aku merasa sendiri, siapa yang akan mendukungku, menghiburku. Suamiku saja tidak mengerti aku. Begitu komplenku padanya.

Semalam (20/10) aku berantem lagi dengan suamiku. Mempermasalahkan hal yang mungkin dianggap orang lain sepele, tapi itu yang mengganggu keluargaku selama ini. "Aku pengen punya rumah sendiri. Di sini aku terpenjara." Rengekku malam itu. Suamiku tidak mengerti maksudku dan malam itu semakin runyam. Meski kami tetap bisa berdoa malam itu dan minta pertolongan Tuhan.

Besoknya aku ikut suami di pertemuan bisnis sama kenalannya. Meski sebenarnya aku ogah. Tapi dia nyaranin aku ikut, ya udah aku ikut saja.

Setelah kami sampai di tempat pertemuan, sementara menunggu yang lainnya pembicaraan kami sampai ke masalah mertua dan menantu. Saat itu aku geli sendiri. Yang disampaikan Pak Lilik itu apa yang kurasakan selama ini. Sesuatu yang selama ini kujelaskan ke suamiku tapi suamiku tidak bisa mengerti. Tuhan pakai orang lain untuk menolongku. Tuhan itu suka mengajak bercanda saja dan cara yang DIA pakai luar biasa. Kalau sudah seperti ini aku tertawa sendiri. Di saat aku nyerah sama Tuhan gimana caranya biar suamiku mengerti masalahku. Dia pakai cara yang tidak pernah kuduga sebelumnya. Malamnya aku diskusi sama suamiku tentang campur tangan Tuhan ini.

Saat ini aku merasa lebih tenang. Meski saat ini aku tetap ada di rumah mertuaku tapi itu tidak membuatku terpenjara. Dan anehnya sejak Senin (22/10) hatiku bisa menerima ibu mertua dengan baik. Tidak ada lagi gondok meski komentar itu masih saja ada. Aku bisa menerima tanpa terpaksa atau menyimpannya sebagai bom waktu. Tapi aku bisa menerimanya. Pasti Tuhan yang telah menambah satu komponen di hatiku. Yang membuatku bisa menerima ibu mertua saat ini. Dan kuharap ini tidak sementara.

Thanks Jesus!


Read more!

Thursday, October 25, 2007

Menantu vs Mertua: Ketika Tuhan Berkarya

Sebelum kami menikah, aku memang telah mengajukan syarat agar kami nanti tinggal bersama di rumahku, serumah dengan ibuku. Dan iapun menyetujuinya walau beberapa kali kelihatan agak berat dengan syarat yang aku ajukan. Awal kami tinggal serumah dengan ibuku memang tidak ada masalah berarti. Ia bisa menyesuaikan dan ibuku tentu bisa menerimanya.

Namun, karena aku masih bekerja di Salatiga dan ia masih di Solo, akhirnya kami terpaksa harus berpisah untuk beberapa hari. Di sinilah masalah mulai muncul. Istriku mulai sering mengeluh karena sulit berkomunikasi dengan ibu. Aku sendiri tidak tahu bagaimana dengan ibu. Yang kutangkap ia sendiri selalu berusaha sabar menghadapi mantunya.

Karena ia istriku maka aku selalu berusaha untuk menjelaskan bagaimana ibu dan bagaimana dia harus bersikap. Tapi ternyata permasalahan tidak semudah membalikkan telapak tangan. Setiap aku pulang Solo istriku terus saja mengeluh. Hal inilah yang membuat aku berang. Beberapa kali kami berantem karena masalah ini.

Tentu saja aku jengkel setengah mati dengan kondisi seperti ini. Pulang ke rumah agar bisa tidur di pelukan istri malah justru dapat punggung alias dicuekin istri. Kadang aku gak habis pikir kenapa sih ia tidak mau menerima kondisi ibuku dan selalu mengharapkan ibuku mengerti dia. Dalam suatu adu argumen aku pernah bilang kalau awalnya aku juga gak bisa menerima beberapa sikap ibunya namun aku belajar menerima. Tapi ternyata apa yang kualami itu bukan dia jadikan pemacu tetapi dia justru seperti dilecehkan karena dianggap tidak bisa apa-apa sementara aku bisa... Waduh puyeng nih.

Aku masih belum tahu mengapa dia bisa sedemikian 'takut' terhadap ibu.

Jawaban atas pertanyaan tersebut muncul ketika aku mengajak dia untuk menghadiri pertemuan bisnis dengan kenalanku. Di situ aku mengatakan kondisiku saat ini yang masih tinggal dengan orang tua dan Pak Lilik (salah seorang peserta) langsung berpendapat kalau menantu tinggal di rumah mertua memang rawan konflik. Apalagi kalau menantu perempuan tinggal bersama mertua. Karena sudah tertanam dalam diri wanita bahwa ia bertugas untuk mengasuh pria, dalam hal ini anaknya. Nah, tentu saja seorang ibu tidak bisa begitu saja menerima kalau anak yang ia asuh tiba-tiba diasuh orang lain sekalipun itu mantunya.

Banyak kasus sederhana yang ia contohkan. Misalnya ibunya tahu kalau setiap pagi anaknya suka makan soto tetapi istrinya gak bisa buat soto. Nah pernyataan 'anakku itu suka sekali makan soto' bisa membuat sang istri kibat kibit. Kalau memberi penjelasan pada suaminya mungkin mudah tapi bagaimana kepada mertua. Terus pagi masih mau tidur ya perkewuh kalau bangun masih ngantuk. Beda kalau di rumah sendiri, semuanya bebas. Mau ngapa-ngapain terserah.

Pulangnya aku bilang sama istriku kalau sekarang aku mengerti akar masalahnya. Tapi tetap saja aku bingung. Idealnya kami memang harus keluar dan berumah tangga sendiri. Tetapi untuk saat ini itu bukan hal yang mudah dilakukan. Beberapa alternatif yang kuajukan ialah:

- Ia mencari kerja di Salatiga dan kami mengontrak rumah di Salatiga (sulit dilakukan karena tahun 2007 aku harus balik ke Solo untuk menyelesaikan studiku)
- Nyari kontrakan baru di Solo (sulit mencari alasan yang tepat kenapa pindah, soalnya tempat kerjanya pun juga dekat rumahku sekarang)
- Beli rumah baru (apalagi ini, belum saatnya)
- Dia nyari kerja di Sukoharjo dan menetap di sana. Pulang ke Solo kalau pas aku pulang ke Solo (ini langkah terbaik sekarang)

Sekarang aku jadi tambah bingung apa yang harus aku lakukan. Secara manusia tidak ada lagi yang dapat aku lakukan kecuali berdoa dan berserah padaNya. Tuhan tolong aku.

Selasa, 23 Oktober 2007 aku di sms kalau dia sekarang sudah dapat merasa nyaman berbicara dengan ibu. Aku ikut senang dengan hal ini tapi kuharap ini bukan fenomena sesaat saja.

Rabu, 24 Oktober 2007 saat aku pulang dia cerita kalau mulai hari senin (22 Oktober 2007) dia sudah bisa merasa nyaman berbicara dengan ibu. Sebelumnya jika ibu komentar ini itu ia selalu merasa risih, tetapi sejak senin dia tidak merasakannya lagi. Ia heran kenapa hal itu bisa terjadi.

Aku ikut senang mendengar ceritanya. Ia kupeluk lalu aku katakan kalau kamu telah ketularan aku hehe. Aku ceritakan kalau aku sempat bingung dengan situasi ini dan mulai berserah padaNya. Justru saat berserah inilah Tuhan berkarya. Kiranya ini tidak hanya berlangsung sekejab.

Matur nuwun Gusti Yesus.


Read more!